Write, So You Never Forget
I have always kept a journal for me to jot down any thoughts crossing my mind at any given time. No, not that kind of artsy-pinterest-worthy journal which I used to keep anymore. This one is more like a medium for me to just write anything that I want. I find this really helpful to re-organize my thoughts into words, especially at times when my mind gets so busy, thinking about a lot of things simultaneously–if that’s even a correct term to describe it.
It helps to remind me that my past self has probably dealt with the same confusion that I currently have–and I actually had written the answer to that in the journal. It also works as a reminder that there are times when I could not think clearly enough and so I started writing gibberish stuff in there–which allows me to have a good laugh reading it all over again later on when I’m in a healthier state of mind.
In the first page of this journal, I wrote:
The piece of writing that I’m going to share with you is written mostly in Bahasa, and I’m gonna copy–paste it as is, with exactly the same redaction, to maintain its “originality”. Please pardon if the sentences / paragraphs are not really coherent.
——
Tiba-tiba jadi pengen nulis perjalanan spiritualku.
Dulu aku orang dengan spiritual yang sangat-sangat labil (sampai sekarang kadang masih kambuh sih..). Makin kesini makin dilatih sama Allah untuk lebih bisa berdamai sama diri sendiri, dan lebih yakin sama ketetapan-Nya. Walaupun jalannya gak mulus dan aku sering lupa, alhamdulillah sekarang sudah jauh lebih stabil dan lebih bisa mengontrol spiritual diri.
Mulai dari dikasih cobaan bertubi-tubi, sampai dikasih hidayah untuk lebih sering denger kajian (walaupun online hiks), sampai diingetin untuk belajar lebih memaknai ibadah sehari-hari, sampai dikasih kesempatan jadi tamu Allah untuk melaksanakan ibadah Umroh.
Rasanya sekarang sudah lebih bisa menguasai diri. Dan kuncinya cuman tiga: sabar, syukur, dan tawakkal sama Allah. Ilmu yang terdengar sederhana tapi praktiknya sulit bukan main. Semoga niatnya selalu dilurusin dan hubungan sama Allah terjaga ya. Aamiin..
2019 ini benar-benar leap of faith. Tahun aku rasanya bener-bener ganti mindset. Terutama tentang ketuhanan dan tujuan penciptaan manusia. Dan Umroh bener-bener membuka mataku tentang itu semua. Well, Allah yang membukanya, melalui perjalanan Umroh.
Alhasil, aku jadi re-calibrate hidup aku. Karena aku jadi merasa punya tujuan yang lebih jelas. Gak lagi beda-bedain mana yang buat dunia dan akhirat. Tapi semuanya diniatin untuk nabung bekal buat di akhirat.
I mean.. kita hidup maksimal paling berapa tahun sih? 70 tahun? 70 tahunnya dimaksimalkan agar hidup kekal di akhirat dengan bahagia gak?
Nabi Muhammad SAW dalam 23 tahun kenabiannya, has accomplished sooo much. Berkat usaha beliau di 23 tahun itu, islam bisa sampai ke aku sekarang.
So, yakin mau buang-buang waktu? Berapa % waktu kamu yang diniatkan untuk sebanyak-banyaknya mendapat ridho Allah?
Ketika udah punya purpose yang jelas (mencari ridho Allah, agar hidup bahagia di akhirat), rasanya memilah-milah hal yang perlu dipikirkan dan dilakukan jadi jauh lebih gampang. Dan karena itu juga, I started seeing maany things as petty, alias gak penting. Like, ga ada faedahnya atau ngaruhnya terhadap aku di mata Allah gitu loh?
Ambisi-ambisi pun jadi ke-filter mana ambisi yang kalau ditarik underlying reason nya pure karena nafsu / hasrat keduniawian doang, mana yang beneran penting.
Dan hasilnya jadi ringan banget ini hidup...hahaha. Karena so far ternyata yang banyak menyita pikiranku itu hal-hal yang gak penting-penting amat buat dipikirkan / dikhawatirkan.
Dan...
Ketika ketemu orang dengan pandangan / prinsip serupa datang ke hidup aku dan ngajak buat hidup bersama, rasanya juga langsung...sreg 🙂 Gak perlu mikir belibet, semua jadi terlihat simpel.
Bismillah, semoga setelah ini jalannya selalu dimudahkan dan diberkahi Allah 🙂 Aamiin...
It helps to remind me that my past self has probably dealt with the same confusion that I currently have–and I actually had written the answer to that in the journal. It also works as a reminder that there are times when I could not think clearly enough and so I started writing gibberish stuff in there–which allows me to have a good laugh reading it all over again later on when I’m in a healthier state of mind.
In the first page of this journal, I wrote:
Write, so you never forget.And it is that very page which triggered me to write this post. There is this piece of 2-pages-long writing from a while ago about this leap of faith that I thankfully have went through. And I would like to keep it here so it becomes a digital mark that can be more permanent, as a reminder for my future self, and for those who randomly stumbled upon this blog. Itung-itung nabung pahala ☺
The piece of writing that I’m going to share with you is written mostly in Bahasa, and I’m gonna copy–paste it as is, with exactly the same redaction, to maintain its “originality”. Please pardon if the sentences / paragraphs are not really coherent.
——
Tiba-tiba jadi pengen nulis perjalanan spiritualku.
Dulu aku orang dengan spiritual yang sangat-sangat labil (sampai sekarang kadang masih kambuh sih..). Makin kesini makin dilatih sama Allah untuk lebih bisa berdamai sama diri sendiri, dan lebih yakin sama ketetapan-Nya. Walaupun jalannya gak mulus dan aku sering lupa, alhamdulillah sekarang sudah jauh lebih stabil dan lebih bisa mengontrol spiritual diri.
Mulai dari dikasih cobaan bertubi-tubi, sampai dikasih hidayah untuk lebih sering denger kajian (walaupun online hiks), sampai diingetin untuk belajar lebih memaknai ibadah sehari-hari, sampai dikasih kesempatan jadi tamu Allah untuk melaksanakan ibadah Umroh.
Rasanya sekarang sudah lebih bisa menguasai diri. Dan kuncinya cuman tiga: sabar, syukur, dan tawakkal sama Allah. Ilmu yang terdengar sederhana tapi praktiknya sulit bukan main. Semoga niatnya selalu dilurusin dan hubungan sama Allah terjaga ya. Aamiin..
2019 ini benar-benar leap of faith. Tahun aku rasanya bener-bener ganti mindset. Terutama tentang ketuhanan dan tujuan penciptaan manusia. Dan Umroh bener-bener membuka mataku tentang itu semua. Well, Allah yang membukanya, melalui perjalanan Umroh.
Alhasil, aku jadi re-calibrate hidup aku. Karena aku jadi merasa punya tujuan yang lebih jelas. Gak lagi beda-bedain mana yang buat dunia dan akhirat. Tapi semuanya diniatin untuk nabung bekal buat di akhirat.
I mean.. kita hidup maksimal paling berapa tahun sih? 70 tahun? 70 tahunnya dimaksimalkan agar hidup kekal di akhirat dengan bahagia gak?
Nabi Muhammad SAW dalam 23 tahun kenabiannya, has accomplished sooo much. Berkat usaha beliau di 23 tahun itu, islam bisa sampai ke aku sekarang.
So, yakin mau buang-buang waktu? Berapa % waktu kamu yang diniatkan untuk sebanyak-banyaknya mendapat ridho Allah?
Ketika udah punya purpose yang jelas (mencari ridho Allah, agar hidup bahagia di akhirat), rasanya memilah-milah hal yang perlu dipikirkan dan dilakukan jadi jauh lebih gampang. Dan karena itu juga, I started seeing maany things as petty, alias gak penting. Like, ga ada faedahnya atau ngaruhnya terhadap aku di mata Allah gitu loh?
Ambisi-ambisi pun jadi ke-filter mana ambisi yang kalau ditarik underlying reason nya pure karena nafsu / hasrat keduniawian doang, mana yang beneran penting.
Dan hasilnya jadi ringan banget ini hidup...hahaha. Karena so far ternyata yang banyak menyita pikiranku itu hal-hal yang gak penting-penting amat buat dipikirkan / dikhawatirkan.
Dan...
Ketika ketemu orang dengan pandangan / prinsip serupa datang ke hidup aku dan ngajak buat hidup bersama, rasanya juga langsung...sreg 🙂 Gak perlu mikir belibet, semua jadi terlihat simpel.
Bismillah, semoga setelah ini jalannya selalu dimudahkan dan diberkahi Allah 🙂 Aamiin...
No comments: